RGB1688 – Di bawah kilau lampu neon distrik malam Tokyo, seorang gadis malam bernama Mutsumi berjalan anggun di trotoar. Wajahnya cantik dengan senyuman manis yang memikat siapa saja yang menatapnya. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, memantulkan kilauan cahaya dari lampu-lampu jalan. Mutsumi adalah sosok yang mencuri perhatian, tetapi ada sesuatu dalam matanya—sebuah kesedihan yang tersembunyi di balik topeng senyumnya.
Mutsumi bekerja sebagai gadis malam, menemani orang-orang yang haus akan perhatian dan percakapan. Malam itu, dia duduk di sudut sebuah bar kecil. Ruangan dipenuhi musik jazz lembut, dan aroma minuman keras bercampur dengan parfum mahal. Seorang pria berusia awal tiga puluhan mendekat, mengenakan jas abu-abu rapi.
“Baca Juga: Makan Malam Bersama dengan Selingkuhan Saya yang Berusia 5 Tahun Lebih Muda”
“Apakah tempat ini sudah ada yang menempati?” tanyanya sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Mutsumi tersenyum lembut. “Belum. Silakan duduk.”
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Hiroshi, seorang pengusaha yang baru saja pindah ke kota. Mereka berbincang ringan—tentang pekerjaan, kehidupan di Tokyo, dan musik yang mengalun di bar. Suara Mutsumi lembut dan menenangkan, seperti oasis di tengah hiruk-pikuk malam.
Namun, Hiroshi mulai menyadari ada keheningan dalam kata-katanya. Setiap kali dia bertanya tentang dirinya, Mutsumi selalu menjawab singkat, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Apa kamu selalu tersenyum seperti ini?” tanya Hiroshi tiba-tiba.
Gadis Malam Bernama Mutsumi
Mutsumi terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi. “Bukankah senyum itu hal yang indah untuk dilihat?”
“Ya, tapi kadang senyum juga bisa menyembunyikan sesuatu,” balas Hiroshi.
Mutsumi tertawa kecil. “Kamu pintar membaca orang, ya.”
Hiroshi menyesap kopinya, matanya tetap fokus padanya. “Aku hanya penasaran, apa yang membuat seseorang sepertimu memilih pekerjaan ini?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Mutsumi memalingkan pandangan sejenak, lalu menatap Hiroshi dengan mata yang lebih lembut.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “kadang hidup memberi kita pilihan yang tidak terlalu banyak. Aku melakukan ini bukan karena aku ingin, tapi karena aku harus.”
Hiroshi tidak berkata apa-apa. Dia tahu, semua orang punya cerita masing-masing. Namun, ada sesuatu tentang Mutsumi yang membuatnya ingin tahu lebih dalam.
Malam berlalu, dan percakapan mereka terus berlanjut. Mutsumi berbicara tentang impiannya, tentang bagaimana dia ingin suatu hari membuka toko bunga kecil di pinggir kota. Matanya berbinar saat membicarakannya, seperti menemukan kembali semangat yang sudah lama hilang.
Ketika bar mulai sepi, Hiroshi berdiri. “Aku harap kamu suatu hari bisa mewujudkan mimpimu, Mutsumi.”
Mutsumi tersenyum. “Terima kasih. Dan aku harap, kamu menemukan apa pun yang kamu cari di kota ini.”
Mereka berpisah di depan bar. Angin malam berhembus pelan, membawa harum wangi bunga musim semi. Mutsumi menatap punggung Hiroshi yang menjauh, lalu berjalan pulang ke apartemennya yang sederhana.
Malam itu, di balik senyumnya, dia merasa sedikit lebih ringan. Meski dunia malam masih menjadi dunianya, dia tahu ada secercah harapan—dan mungkin, suatu hari, ada jalan keluar menuju kehidupan yang lebih baik.