RGB1688 – Pada malam hari, suasana apartemen Yui Hatano terasa sunyi. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di ruang tamunya. Yui, yang biasanya penuh semangat, kali ini hanya terbaring lemah di sofa. Tubuhnya terasa panas, dan kepalanya berdenyut hebat. Dia baru saja meminta izin untuk absen dari pekerjaan karena demam.
“Kenapa hari ini malah sakit?” gumamnya sambil memeluk selimut tebal. Ponselnya berbunyi. Nama Kenji, salah satu rekan kerjanya, muncul di layar.
“Yui-san, kamu baik-baik saja? Kudengar kamu sakit,” suara Kenji terdengar khawatir di seberang.
“Aku hanya sedikit demam, tidak apa-apa,” jawab Yui dengan suara serak.
Namun, tak lama setelah percakapan itu, terdengar bel pintu berbunyi. Dengan malas, Yui menyeret tubuhnya menuju pintu. Betapa terkejutnya dia saat melihat Kenji berdiri di sana, membawa sekantong bahan makanan.
“Kenji? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Yui dengan mata membelalak.
“Kamu butuh bantuan, kan? Aku tahu kamu tidak akan bilang. Jadi aku datang,” jawab Kenji sambil tersenyum hangat. Yui tidak bisa menolak kebaikan hati pria itu, meski sedikit merasa malu karena penampilannya yang berantakan.
Memasak Sup Hangat untuk Yui Hatano
Kenji segera masuk dan mulai memasak sup hangat di dapur kecil Yui. Aroma kaldu yang sedap memenuhi ruangan, membuat Yui merasa sedikit lebih baik. Dia memperhatikan Kenji dari sofa, terkesan melihat betapa cekatannya pria itu.
“Kenji, kamu tidak perlu repot-repot seperti ini,” ujar Yui lemah.
“Tidak apa-apa. Anggap saja ini balasan karena kamu sering membantu pekerjaanku,” balas Kenji sambil tertawa kecil.
Setelah sup selesai, Kenji membawanya ke meja kecil di depan Yui. “Ayo, makan. Ini akan membuatmu merasa lebih baik.”
Yui Hatano menyuap sup itu perlahan, merasakan hangatnya menyusup ke tubuhnya yang lemah. Sementara itu, Kenji duduk di sebelahnya, memperhatikan dengan perhatian penuh.
“Kenji, terima kasih,” kata Yui, tatapannya tulus.
“Yui, kamu harus menjaga dirimu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri,” jawab Kenji sambil menatapnya dengan lembut.
Momen itu terasa hangat, lebih dari sekadar perhatian biasa. Ada sesuatu di mata Kenji yang membuat Yui merasa dihargai. Tanpa sadar, dia mulai membuka dirinya, bercerita tentang tekanan kerja yang selama ini dia rasakan. Kenji mendengarkan dengan penuh kesabaran, memberi dukungan tanpa menghakimi.
Malam itu, hujan terus turun, tapi suasana di dalam apartemen Yui terasa jauh lebih hangat. Keberadaan Kenji membawa ketenangan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Kenji, aku merasa lebih baik. Terima kasih sudah datang,” kata Yui dengan senyum lemah.
“Aku senang mendengarnya. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungiku,” jawab Kenji sambil membereskan piring-piring bekas makan malam mereka.
Saat Kenji bersiap pergi, Yui merasa berat melepasnya. “Kenji, kamu benar-benar teman yang baik.”
Kenji tersenyum, menatap Yui dengan lembut. “Aku hanya ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian.”
Dan dengan itu, Kenji pergi, meninggalkan Yui yang kini merasa jauh lebih kuat, baik secara fisik maupun emosional. Hujan di luar seolah menjadi saksi awal dari sesuatu yang lebih bermakna di antara mereka.