RGB1688 – Suasana di rumah Raka begitu tenang. Ia mengajakku datang untuk belajar bersama teman sekelasku untuk menghadapi ujian akhir minggu depan. Raka adalah salah satu teman sekelas yang paling rajin dan pandai. Aku merasa bersyukur dia bersedia meluangkan waktunya untuk membantuku yang sering kesulitan memahami materi matematika.
“Ayo, masuk,” ujar Raka sambil tersenyum saat membuka pintu. Rumahnya sederhana tapi nyaman, dengan meja belajar yang tertata rapi di sudut ruang tamu. Buku-buku tebal berserakan di meja, menandakan betapa seriusnya ia mempersiapkan diri untuk ujian.
“Baca Juga: Kelakuan Bapak Tiriku yang Bejat Saat Suami Saya Berangkat Kerja di Pagi Hari”
Aku duduk di sebelahnya, dan kami mulai membuka buku. Raka menjelaskan setiap rumus dengan sabar, bahkan menuliskan contoh soal di buku catatanku. Suaranya tenang, membuatku merasa percaya diri meski biasanya aku sering gugup ketika belajar matematika.
“Kamu paham sampai sini?” tanyanya sambil menatapku.
Aku mengangguk kecil. “Sepertinya mulai paham. Tapi, coba kamu jelaskan lagi yang ini,” jawabku sambil menunjuk sebuah soal yang terlihat rumit.
Raka tertawa kecil. “Oke, sabar. Kita coba pelan-pelan.” Ia mendekatkan kursinya untuk menunjukkan langkah-langkahnya.
Waktu Berlalu Begitu Cepat Bersama Teman Sekelasku
Waktu berlalu begitu cepat. Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Mataku mulai terasa berat, tapi aku tidak ingin mengecewakan Raka yang sudah meluangkan waktunya. Ia tampak lebih bersemangat daripada aku.
“Kita istirahat sebentar, deh,” usulnya sambil meregangkan badan. “Kamu kelihatan capek.”
Aku mengangguk, meletakkan pulpenku dan merebahkan kepala di meja. “Sebentar saja, ya. Tapi jangan terlalu lama.”
Namun, rasa kantuk semakin tak tertahankan. Aku tidak sadar kapan mata ini sepenuhnya tertutup. Suasana sunyi malam dan udara sejuk dari kipas angin membuat tubuhku semakin nyaman.
Ketika aku terbangun, lampu sudah dimatikan, menyisakan hanya satu lampu meja kecil yang menyala. Aku melihat Raka yang tertidur di sofa dekatku. Ia tampak damai dengan posisi meringkuk, buku masih terbuka di dadanya. Aku tersenyum kecil, merasa sedikit bersalah karena tidak bisa menyelesaikan belajar malam itu.
Aku melirik jam dinding. Sudah pukul dua pagi. Rasanya tidak mungkin untuk pulang sekarang, dan aku tidak ingin membangunkan Raka yang terlihat begitu lelah. Aku meraih selimut kecil yang tergeletak di kursi dan menutupinya dengan lembut.
“Terima kasih, Raka,” bisikku pelan, sebelum kembali merebahkan kepala di meja.
Malam itu, kami mungkin tidak menyelesaikan semua soal yang harus dipelajari, tapi aku merasa mendapatkan lebih dari sekadar pengetahuan. Ada rasa nyaman dan kedekatan baru bersama teman sekelasku yang tumbuh di antara kami. Sebuah malam sederhana yang menyimpan kehangatan dalam sunyi.