RGB1688 – Mentari sore menyinari halaman kampus, memantulkan rona keemasan di trotoar yang mulai lengang. Raka, mahasiswa tingkat akhir, baru saja keluar dari perpustakaan dengan setumpuk buku di tangan. Saat berjalan menuju parkiran, matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang Mahasiswi Cantik berdiri di dekat bangku taman.
Ia tampak berbeda dari mahasiswa lain yang berlalu-lalang. Wajahnya teduh, dengan senyum kecil menghiasi bibirnya yang seolah tak disengaja. Gadis itu sedang sibuk membaca, dengan helaian rambut hitam panjangnya yang tertiup angin. Raka berhenti sejenak, terpaku oleh auranya yang sederhana namun memikat.
“Hei,” sapa Raka sambil mendekat, berusaha terdengar santai. Gadis itu mendongak, matanya yang cokelat bertemu dengan tatapan Raka. “Kamu baru di sini?”
Dia tersenyum, lalu menjawab dengan lembut, “Iya, aku mahasiswa baru. Namaku Alya.”
Obrolan mereka mengalir begitu saja, mulai dari jurusan yang mereka ambil hingga tempat makan favorit di sekitar kampus. Alya terlihat begitu nyaman, membuat Raka semakin percaya diri untuk melanjutkan pembicaraan.
“Sebenarnya, aku mau ngerjain tugas kelompok,” kata Alya, menunjukkan buku catatannya. “Tapi kayaknya sulit buat fokus di sini.”
Tanpa berpikir panjang, Raka menawarkan, “Kalau mau, kamu bisa kerjain di tempatku. Di rumah lebih tenang, nggak banyak gangguan.”
Alya sempat ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh, asal nggak ngerepotin kamu.”
Setelah berjalan bersama ke parkiran, Raka mengantar Alya ke rumahnya, sebuah kontrakan kecil namun rapi di pinggir kota. Suasana di dalam rumah itu terasa nyaman, dengan aroma kopi yang baru saja ia seduh.
“Silakan duduk. Aku bikin kopi dulu,” ujar Raka sambil menunjuk sofa di ruang tamu. Alya mengangguk sambil membuka buku catatannya.
Obrolan dengan Mahasiswi Cantik
Tak lama kemudian, mereka mulai tenggelam dalam percakapan yang lebih santai. Tugas yang awalnya menjadi alasan Alya untuk datang justru terlupakan saat obrolan mereka berlanjut ke topik-topik pribadi—mimpi, masa kecil, dan kebiasaan unik masing-masing. Raka mendapati dirinya semakin tertarik pada Alya, bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga caranya berbicara yang tulus dan cerdas.
“Rumahmu nyaman, ya,” kata Alya sambil memandang sekitar. “Kamu tinggal sendiri?”
Raka mengangguk. “Iya, orang tua di luar kota. Jadi ya… aku sering sendirian.”
Ada jeda di antara mereka, bukan karena canggung, tetapi lebih karena rasa saling memahami yang perlahan tumbuh. Raka memberanikan diri mendekat, mengulurkan tangan untuk mengambil buku yang Alya pegang.
“Alya…” panggilnya pelan. Gadis itu menoleh, wajahnya sedikit memerah.
“Kenapa, Raka?”
“Aku senang kita ketemu hari ini. Entah kenapa, rasanya kayak… aku udah nunggu momen ini lama banget.”
Alya tertawa kecil, mencoba mengalihkan rasa malunya. Tapi, senyumnya cukup memberi jawaban. Tanpa kata tambahan, keheningan yang ada justru menguatkan perasaan mereka.
Hari itu, dua jiwa yang tak saling kenal menjadi lebih dekat, membuka awal cerita yang mungkin akan terus berkembang. Bagi Raka, pertemuan dengan Alya bukan hanya kebetulan, melainkan takdir yang mengarahkannya ke sesuatu yang indah.