RGB1688 – Hujan deras mengguyur sepanjang sore, membuat suasana di dalam rumah yang sepi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku dan Lisa terjebak di sana, rumah tua milik kakeknya yang kami kunjungi untuk mengurus beberapa dokumen keluarga. Angin di luar menderu, dan suara rintik hujan seolah menjadi satu-satunya melodi yang mengisi keheningan.
“Sepertinya kita tidak akan bisa pulang malam ini,” kata Lisa sambil menatap ke luar jendela yang berembun.
Aku mengangguk, meletakkan cangkir teh hangat di meja kecil di ruang tamu. “Yah, sepertinya kita harus menikmatinya. Lagipula, kapan lagi kita punya waktu seperti ini, cuma berdua?”
Lisa tersenyum tipis, lalu melangkah ke sofa dan duduk di sebelahku. Dia membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, terlihat nyaman meski udara dingin menyusup ke sela-sela dinding rumah tua itu.
“Kamu tahu,” katanya sambil memandang ke arahku, “Rumah ini selalu membuatku merasa aneh. Banyak kenangan di sini, tapi rasanya kosong.”
Aku bisa melihat kesedihan di matanya, seolah-olah hujan di luar mencerminkan apa yang dia rasakan. Aku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit candaan. “Ya, rumah tua memang sering terasa seperti itu. Tapi sekarang kan tidak kosong. Ada kita.”
Dia terkekeh kecil, tapi tatapannya tetap melekat padaku. “Terima kasih sudah ikut. Aku tidak tahu kalau harus sendirian di sini.”
“Lisa,” aku memanggil namanya lembut, “Kamu tidak perlu menghadapinya sendiri. Aku selalu ada kalau kamu butuh.”
Mendengar itu, dia terdiam sejenak, lalu menggeser posisinya, duduk lebih dekat. Wajahnya kini hanya berjarak beberapa sentimeter dariku. “Aku tahu,” bisiknya, “Itu sebabnya aku mengandalkanmu.”
Di Dalam Rumah Terdengar Suara Hujan
Aku merasakan detak jantungku semakin cepat. Dalam keheningan itu, suara hujan menjadi latar belakang sempurna untuk momen yang terasa begitu intim. Tanpa sadar, aku menyentuh tangannya, dan dia tidak menolak. Sebaliknya, dia menggenggamnya erat, seolah menemukan rasa aman yang dia cari.
“Dingin, ya,” katanya sambil tersenyum, tapi matanya berbicara lebih dari sekadar kata-kata.
“Kalau begitu, aku harus memastikan kamu tetap hangat,” jawabku, mencoba bercanda lagi untuk menyembunyikan kegugupanku.
Namun, kali ini, Lisa tidak tertawa. Sebaliknya, dia mendekatkan tubuhnya, bersandar pada bahuku. Kami duduk di sana, berbagi kehangatan, berbagi momen. Tidak ada kata-kata yang keluar lagi, tapi keheningan itu terasa penuh makna.
Waktu seolah berhenti di rumah tua itu. Hanya kami berdua, berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar waktu bersama. Saat malam semakin larut, aku menyadari bahwa mungkin, momen ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak pernah kami duga.
Hujan masih terus turun, tapi entah kenapa, dunia di luar tidak lagi terasa penting. Yang ada hanyalah kami, di dalam rumah yang sepi, menemukan kedamaian di tengah keheningan.