RGB1688 – Namaku Maya, seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kamar kost kecil di pinggiran kota. Kost ini sederhana, tapi cukup nyaman untukku. Letaknya di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Seorang pria di sebelah kost saya yang jarang sekali berbicara. Namanya Ardi, dia terlihat pendiam, lebih sering menutup pintu kamar dan hanya keluar saat malam untuk membeli makanan.
Hari itu, aku baru pulang kuliah dan merasa sangat lelah. Setelah menutup pintu, aku langsung melepas jaket dan berdiri di depan cermin besar yang ada di sudut kamar. Sebelum mengganti pakaian, aku menarik tirai jendela yang sedikit terbuka. Sebuah kebiasaan sederhana yang selalu kulakukan tanpa banyak berpikir.
Namun, kali ini aku merasa ada sesuatu yang aneh. Dari sudut mataku, aku melihat bayangan kecil di balik celah tirai jendela kamar Ardi. Aku mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin itu hanya pantulan cahaya atau halusinasi karena lelah. Tapi ketika aku mendekat, jantungku berdegup kencang. Aku melihatnya sesosok pria dengan wajah samar di balik jendela itu, matanya terpaku ke arah kamarku.
“Baca Juga: Para Ibu-Ibu Berkumpul Hanya untuk Bergosip tentang Seorang Duda yang Tinggal Sendirian”
Darahku mendidih. Aku langsung menarik tirai dengan kuat dan bergegas ke luar kamar. Kaki-kakiku melangkah ke depan pintu kamar Ardi. Aku mengetuk dengan keras, tanpa ragu.
“Ardi! Aku tahu kamu ada di dalam. Buka pintunya!” suaraku menggema di lorong kecil itu.
Beberapa detik berlalu, hingga akhirnya pintu itu terbuka perlahan. Wajah Ardi muncul, tampak gugup dan pucat. “Ada apa, Maya?” tanyanya dengan suara pelan.
Pria di Sebelah Kost yang Selalu Mengintipku
Aku tidak bisa menahan emosiku. “Kamu mengintipku, kan? Dari jendelamu! Aku melihatmu!” teriakku.
Ardi tampak terkejut, tetapi dia tidak menyangkal. Dia hanya menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. “Aku… aku nggak bermaksud begitu,” katanya akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku cuma… penasaran.”
“Penasaran? Penasaran untuk apa? Itu melanggar privasi, Ardi!” Aku merasa amarahku bercampur dengan rasa tidak percaya.
Dia menghela napas panjang, tampak malu. “Aku minta maaf, Maya. dan tak akan melakukannya lagi janji.”
Aku terdiam, mencoba menenangkan diriku. Meskipun aku masih marah, aku juga bisa melihat rasa bersalah di matanya. “Ardi, kamu tahu apa yang kamu lakukan itu salah, kan? Aku tidak ingin merasa tidak aman di tempat kostku sendiri.”
“Iya, aku tahu. Aku benar-benar minta maaf,” katanya lagi, kali ini dengan nada lebih tegas.
Setelah beberapa saat hening, aku mengangguk. “Baiklah. Aku terima permintaan maafmu. Tapi jika ini terjadi lagi, aku tidak akan diam.”
Dia mengangguk cepat. “Aku mengerti. Terima kasih, Maya. Dan sekali lagi, maaf.”
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan campur aduk. Malam itu, aku memastikan tirai jendelaku tertutup rapat. Meski aku memaafkannya, aku tetap merasa waspada. Sebuah pelajaran untuk selalu berhati-hati, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi ruang privasi kita.